PRODUKSI KARET DI INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karet alam merupakan
salah satu komoditas pertanian yang penting untuk Indonesia dan lingkup
internasional. Di Indonesia karet merupakan salah satu hasil pertanian yang
banyak menunjang perekonomian negara. Hasil devisa yang diperoleh dari karet
cukup besar. Bahkan, Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia dengan
mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal tanaman karet sendiri
yaitu di daratan Amerika Selatan (Tim penulis PS, 2008). Tanaman karet
merupakan tanaman tahunan. Satu siklus tanam yang dihitung dari saat menanam
dilapangan sampai dengan peremajaan memakan waktu lebih kurang 25 tahun. Hal
ini berarti bahwa pemilihan bahan tanam harus dipertimbangkan secara cermat
karena adanya kekeliruaan dalam pemilihan bahan tanam akan berdampak negatif
terhadap perkebunan dan terhadap usaha karet alam nasional (Siagian, 2006).
Untuk luas areal karet
di Indonesia, merupakan areal terbesar di dunia dengan luas 3,4 juta hektar,
diikuti Thailand seluas 2,6 juta hektar dan Malaysia 1,02 juta hektar. Meski
memiliki lahan terluas, produksi karet Indonesia tercatat sebesar 2,4 juta ton
atau di bawah produksi Thailand yang mencapai 3,1 juta ton, sedangkan produksi
karet Malaysia mencapai 951 ribu ton. Untuk mutu bahan olah karet rakyat (bokar)
sangat menentukan daya saing karet alam Indonesia di pasar Internasional.
Dengan mutu bokar yang baik akan terjamin permintaan pasar jangka panjang. Mutu
bokar yang baik dicerminkan oleh tingkat kebersihan yang tinggi. Upaya
perbaikan mutu bokar harus dimulai sejak penanganan lateks di kebun sampai
dengan tahap pengolahan akhir dan tidak terlepas dari penggunaan
bahan
tanam yang mempunyai kualitas baik dan produksi yang tinggi. (Dinas
Perkebunan
Provinsi Riau, 2010).
Produksi Karet Riau pada tahun 2010 berkisar antara
365.119 ton dengan jumlah lahan perkebunan Karet yang sudah digunakan sebesar
389.407 Hektar (Ha). Wilayah potensi pengembangan perkebunan karet di Riau
tersebar ke seluruh kabupaten seperti: Kabupaten Kuantan Singingi lahan yang
sudah digunakan 105.056 (Ha), Kabupaten Kampar dengan lahan yang sudah
Digunakan 91.745 (Ha), kabupaten Bengkalis lahan yang sudah digunakan 59.938
(Ha), Kabupaten Rokan Hulu lahan yang sudah digunakan 48.513 (Ha), kabupaten
Rokan Hilir lahan yang sudah digunakan 30.793 (Ha), kabupaten Pelelawan lahan
yang sudah digunakan 18.847 (Ha), kabupaten Siak lahan yang sudah digunakan
11.695 (Ha), Kota Dumai lahan yang sudah digunakan 11.695 (Ha) dan kabupaten
Indragiri Hilir lahan yang sudah digunakan 1.952 (Ha) (Departemen Pertanian
Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui banyaknya produksi karet yang ada di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Karet (Alam)
Karet, dikenal karena kualitas
elastisnya, adalah sebuah komoditi yang digunakan di banyak produk dan
peralatan di seluruh dunia (mulai dari produk-produk industri sampai rumah
tangga). Ada dua tipe karet yang dikenal luas, karet alam dan karet sintetis.
Karet alam dibuat dari getah (lateks) dari pohon karet, sementara tipe sintetis
dibuat dari minyak mentah. Kedua tipe ini dapat saling menggantikan dan
karenanya mempengaruhi permintaan masing-masing komoditi; ketika harga minyak
mentah naik, permintaan untuk karet alam akan meningkat. Namun ketika gangguan
suplai karet alam membuat harganya naik, maka pasar cenderung beralih ke karet
sintetis. Bagian ini mendiskusikan sektor karet alam Indonesia. Indonesia
adalah salah satu produsen dan eksportir karet alam terbesar.
Pohon karet memerlukan suhu tinggi yang konstan
(26-32°Celsius) dan lingkungan
yang lembab supaya dapat berproduksi maksimal. Kondisi-kondisi ini ada di Asia
Tenggara tempat sebagian besar karet dunia diproduksi. Sekitar 70% dari
produksi karet global berasal dari Thailand, Indonesia dan Malaysia.
Memerlukan waktu tujuh tahun untuk sebatang pohon karet mencapai usia
produksinya. Setelah itu, pohon karet tersebut dapat berproduksi sampai berumur
25 tahun. Karena siklus yang panjang dari pohon ini, penyesuaian suplai jangka
pendek tidak bisa dilakukan.
Negara Produsen
Karet Alam Terbesar pada Tahun 2014 :
1. Thailand
|
4,070,000
|
2. Indonesia
|
3,200,000
|
3. Malaysia
|
1,043,000
|
4. Vietnam
|
1,043,000
|
5. India
|
849,000
|
dalam ton
Sumber: ANRPC
2.2 Produksi dan Ekspor Karet di Indonesia
Sebagai produsen karet
terbesar kedua di dunia, jumlah suplai karet Indonesia penting untuk pasar
global. Sejak tahun 1980an, industri karet Indonesia telah mengalami
pertumbuhan produksi yang stabil. Kebanyakan hasil produksi karet negara ini (kira-kira
80% ) diproduksi oleh para petani kecil. Oleh karena itu, perkebunan Pemerintah
dan swasta memiliki peran yang kecil dalam industri karet domestik.
Kebanyakan produksi karet Indonesia
berasal dari provinsi-provinsi berikut :
1. Sumatra
Selatan.
2. Sumatra
Utara.
3. Riau.
4. Jambi.
5. Kalimantan
Barat.
Total luas perkebunan karet
Indonesia telah meningkat secara stabil selama satu dekade terakhir. Di tahun
2015, perkebunan karet di negara ini mencapai luas total 3,65 juta hektar.
Karena prospek industri karet positif, telah ada peralihan dari
perkebunan-perkebunan komoditi seperti kakao, kopi dan teh, menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Jumlah perkebunan karet milik petani
kecil telah meningkat, sementara perkebunan Pemerintah dan swasta telah agak
berkurang, kemungkinan karena perpindahan fokus ke kelapa sawit.
Sekitar 85% dari produksi karet
Indonesia diekspor. Hampir setengah dari karet yang diekspor ini dikirimkan ke
negara-negara Asia lain, diikuti oleh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa.
Lima negara yang paling banyak mengimpor karet dari Indonesia adalah Amerika
Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Singapura, dan Brazil.
Konsumsi karet domestik kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur
Indonesia (terutama sektor otomotif).
Produksi & Ekspor Karet Alam Indonesia :
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016¹
|
|
Produksi
(juta ton) |
2.75
|
2.44
|
2.73
|
3.09
|
3.04
|
3.20
|
3.18
|
3.11
|
3.16
|
Ekspor
(juta ton) |
2.30
|
1.99
|
2.20
|
2.55
|
2.80
|
2.70
|
2.60
|
2.30¹
|
¹ menunjukkan prognosis
Sumber: Association of Natural Rubber Producing
Countries, Indonesian Rubber Association (Gapkindo), and Food and Agriculture Organization
of the United Nations
Dibandingkan dengan negara-negara
kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki level produktivitas
per hektar yang rendah. Hal ini ikut disebabkan oleh fakta bahwa usia
pohon-pohon karet di Indonesia umumnya sudah tua dikombinasikan dengan
kemampian investasi yang rendah dari para petani kecil, sehingga mengurangi
hasil panen. Sementara Thailand memproduksi 1.800 kilogram (kg) karet per
hektar per tahun, Indonesia hanya berhasil memproduksi 1.080 kg/ha. Baik Vietnam
(1.720 kg/ha) maupun Malaysia (1.510 kg/ha) memiliki produktivitas karet yang
lebih tinggi.
Industri hilir karet Indonesia masih
belum banyak dikembangkan. Saat ini, negara ini tergantung pada impor
produk-produk karet olahan karena kurangnya fasilitas pengolahan-pengolahan
domestik dan kurangnya industri manufaktur yang berkembang baik. Rendahnya
konsumsi karet domestik menjadi penyebab mengapa Indonesia mengekspor sekitar
85% dari hasil produksi karetnya. Kendati begitu, di beberapa tahun terakhir tampak
ada perubahan (walaupun lambat) karena jumlah ekspor sedikit menurun akibat
meningkatnya konsumsi domestik. Sekitar setengah dari karet alam yang diserap
secara domestik digunakan oleh industri manufaktur ban, diikuti oleh sarung
tangan karet, benang karet, alas kaki, ban vulkanisir, sarung tangan medis dan
alat-alat lain.
Sebagai importir karet terbesar di
dunia, kebijakan-kebijakan RRT bisa memiliki dampak sangat luas bagi industri
karet dunia. Di akhir tahun 2014, Pemerintah RRT memutuskan untuk menyetujui
standar baru untuk impor senyawa karet. Kandungan karet mentah yang diizinkan
dalam senyawa karet yang diimpor dikurangi dari 95-99,5% menjadi 88%,
mengimplikasikan bahwa impor senyawa karet ke RRT dikenai beacukai impor 20%
(tarif yang sama dengan beacukai impor karet alam). Kebijakan RRT yang baru ini
adalah pukulan bagi para suplier karet dari Indonesia karena menyebabkan
penurunan penggunaan senyawa karet di negara dengan ekonomi terbesar kedua di
dunia.
Masalah lain adalah AS memindahkan
ban buatan Indonesia dari sistem preferensi umumnya (generalized system of
preference). Program AS ini didesain untuk mendukung negara-negara
berkembang dengan memotong beacukai impor dan pajak untuk kira-kira 5.000
produk dari 123 negara. Ban buatan Indonesia dipindahkan dari daftar sistem ini
karena AS meyakini bahwa industri ban Indonesia sudah cukup kompetitif. Ini
berarti ekspor ban ke AS kini dikenai pajak impor 5%.
Seperti kebanyakan komoditi lain,
harga karet internasional telah melemah sejak awal 2011 karena rendahnya
permintaan global. Harga karet diprediksi akan tetap rendah di masa mendatang
yang dekat karena laju pertumbuhan RRT diprediksi akan semakin menurun di
tahun-tahun mendatang.
2.3 Faktor-faktor
yang Menyebabkan Turunnya Potensi Karet di
Indonesia
Tanaman karet merupakan
tanaman perkebunan kedua yang banyak diusahakan di Indonesia setelah kelapa
sawit. Selain itu, luas areal perkebunan karet mulai tahun 2005
sampai 2008 mengalami peningkatan, sedangkan untuk tahun 2009 mengalami penurunan
sebanyak 6,4% dari tahun sebelumnya. Perubahan luas lahan dapat salah satunya
dapat disebabkan karena adanya penurunan harga karet dunia pada tahun
tersebut. Akibatnya, ketertarikan masyarakat Indonesia untuk
membudidayakan karet menjadi berkurang sehingga luas lahan perkebunan
untuk karet pun menjadi berkurang.
Perkebunan karet
rakyat mencapai 85% dari total luas perkebunan karet yang ada
di Indonesia dan hanya 8% perkebunan besar milik negara serta 7%
perkebunan besar milik swasta dapat dilihat bahwa luas lahan perkebunan
karet rakyat (PR) paling luas dibandingkan perkebunan besar negara
(PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Namun produktivitas karet dari PR
paling rendah dibandingkan PBN dan PBS. Bahkan pada tahun 2008 dan
2009, produktivitas karet cenderung menurun. Produktivitas karet yang
lebih rendah dapat dikarenakan kualitas dari klon karet yang
ditanam, teknologi budidaya yang belum diterapkan petani
seperti penggunaan pupuk, dan umur karet yang sudah tuadan rusak.
Penggunaan bibit unggul
pada perkebunan karet rakyat tergolong masih rendah. Sumber
bibit karet pada perkebunan rakyat biasanya berupa bibit cabutan atau
bibit dengan mutu yang rendah. Penggunaan bibit yang seperti itu, dapat
menyebabkan produktivitas karet menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas karet yang menggunakan bibit unggul. Faktor lain yang
diduga menyebabkan rendahnya produktivitas karet pada perkebunan
rakyat yaitu dari teknis produksi atau pengelolaan kebun
karet. Pengelolaan perkebunan karet rakyat belum sepenuhnya melakukan
penerapan teknik dan manajemen usaha yang efisien. Pengelolaan kebun
karet yang dilakukan masih sederhana. Setelah bibit karet ditanam untuk
selanjutnya dibiarkan tanpa ada perawatan pada kebun karet sehingga
menyebabkan produktivitas karet yang rendah. Banyaknya perkebunan karet yang
sudah tua, rusak, dan kurang produktif pada perkebunan karet
rakyat karena petani telat melakukan peremajaan.
BAB III
KESIMPULAN
Dibandingkan dengan
negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki level
produktivitas per hektar yang rendah. Hal ini ikut disebabkan oleh fakta bahwa
usia pohon-pohon karet di Indonesia umumnya sudah tua dikombinasikan dengan
kemampian investasi yang rendah dari para petani kecil, sehingga mengurangi
hasil panen.
Faktor-faktor yang
menyebabkan menurunnya potensi karet di Indonesia antara lain kualitas dari
klon karet yang ditanam rendah, teknologi budidaya yang belum
diterapkan petani seperti penggunaan pupuk, dan umur karet yang sudah tua
dan rusak tidak dilakukan peremajaan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://repository.uin-suska.ac.id/5305/2/BAB%20I.pdf
(Diakses pada 03 Juni 2017)
https://id.scribd.com/doc/185910063/Perkembangan-Industri-Karet-Indonesia-Makalah-Teknologi-Tanaman-Karet
(Diakses pada 03 Juni 2017)
https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/karet/item185?
(Diakses pada 03 Juni 2017)
Komentar
Posting Komentar